PULANG (Helvy Tiana Rosa)


Jangan pernah kembali ke sini, kecuali kau ingin mati.

Itulah peringatan dalam surat terakhir yang ia terima dari ayahnya, sebulan  lalu. Beberapa waktu sebelumnya ia memang mengabarkan pada sang ayah di kampung halaman, bahwa ia sudah tak tahan lagi bertarung dengan rindu. Ia harus pulang.Kembali ke pangkuan ibu. Ia ingin memeluk ibu dan adiknya, para perempuan yang ia tahu tak pernah berhenti mengiriminya airmata.

Ah, matanya yang basah memicing dan berhenti di sudut kamar. Ia menyimpan semua di sana. Semua oleh-oleh yang dikumpulkannya setiap tahun untuk mereka. Dulu, ia sering mengirim uang, foto, kain, kerudung, dan tanda mata lainnya melalui jasa pos atau titipan kilat ke kampung halamannya.

Tak ada apa pun yang sampai di sini anakku. Hanya bayanganmu dan maut yang mengendap-endap, tulis ayahnya ketika ia tanyakan apakah kirimannya sampai pada mereka.

Ia mengirim rindu dan kecemasannya bersama beberapa titipan itu. Surat dan foto sampai, namun kabarnya, titipan itu hilang atau dirampas di perjalanan. Tak pernah ada kejelasan.

Dia tak pasti berapa lama telah meninggalkan kampungnya. Lebih dari sepuluh atau sebelas tahun, mungkin. Ia pergi belajar ke luar negeri, karena mendapat beasiswa, juga untuk memenuhi keinginan orangtuanya. Keinginan hampir semua orang di kampungnya.

“Kampung ini harus mempunyai banyak orang pintar, agar masyarakat tak terus dibodohi. Jadilah pintar, anakku,” kata ayahnya memohon.

Dibodohi. Ia terbiasa mendengar kata itu sejak kecil. Ada geram menyergap dada. Ya,kampung halamannya memang kaya, tetapi lihat, apakah yang dimiliki penduduk kampung kecuali sepetak rumah dan sepetak tanah bila beruntung? Orang-orang kampungnya juga banyak merantau karena tak memiliki pekerjaan di tanah sendiri.

Lalu entah sejak kapan, kampung mereka dilanda kerusuhan. Ia merasakannya pertama kali saat sekolah menengah pertama-nya dibakar sekelompok orang tak dikenal. Keesokan harinya dengan mengenakan seragam ia pergi ke sekolah seperti biasa. Yang ia temukan hanya bangkai gedung dan bau hangus di udara. Angin meniupkan abu sisa pembakaran yang singgah di matanya. Ia temukan duka membelit-belit wajah para guru dan teman-teman sekolahnya.

Sejak itu di kampungnya selalu ada kebakaran. Sasarannya bukan hanya rumah penduduk, tetapi juga sekolah. SD adiknya pun tak luput dari pembakaran yang dilakukan entah oleh kelompok mana.

“Teganya, mereka bakar sekolah anak-anak kita…,” bisik berapa orang.

“Mereka ingin berkuasa di atas kebodohan penduduk kampung ini….” ujar yang lain dengan bibir gemetar.

“Siapa mereka ayah?” tanyanya waktu itu. “Siapa orang yang mengirimi kita api setiap hari? Siapa yang menginginkan orang-orang di kampung ini mati?”

“Kau tak usah ikut campur, nak. Kita jaga saja keluarga kita,” kata ayahnya dengan suara serak.

“Tapi ayah….”

“Tak ada tetapi, anakku. Kau akan terus sekolah dan menjadi yang terpintar. Kau akan sekolah ke luar negeri dan kembali untuk membangun serta menyingkirkan nestapa dari kampung kita.”

Ia belum pernah melihat kepingan kaca pecah di mata ayahnya, melebihi hari itu. Ia melihat giris gerimis dari jendela rumahnya dan merasakan tangis orang-orang di kampungnya menyirami tubuhnya. Lalu gerimis-gerimis itu menjadi jarum-jarum kecil panjang yang menancapi hatinya. Apa yang bisa dilakukan pemuda berusia tujuh belas tahun seperti dirinya waktu itu?

Sekolah. Belajar dengan benar dan melahap semua buku yang ia temukan di rumah, di sekolah, di perpustakaan, masjid, di tempat teman, di jalan, di mana pun. Ia bertekad membaca semua: cuaca yang terbuka dan segala itu.

Tapi siapa mereka sebenarnya?

Di koran dan majalah ia membaca tentang kerusuhan di kampungnya. Ada kelompok bersenjata yang bercita-cita mengubah kampung itu menjadi negeri madani yang adil, makmur dan sejahtera. Pemerintah menganggap hal tersebut makar dan memutuskan untuk melindungi, mempertahankan kampung tersebut dengan kesiagaan para tentara dan polisi. Lalu tiba-tiba muncul kelompok ketiga yang entah siapa, juga bersenjata. Sementara penduduk kampung hidup dalam belenggu ketakutan.

Tapi aku tak bisa membedakan mereka, kata pemuda itu pada dirinya sendiri.

Ia dan penduduk kampungnya memang tak tahu lagi, siapa yang bermain-main dengan darah dan nyawa para penduduk kampung sebenarnya. Sebab semua kelompok bersenjata itu selalu saling menuduh satu sama lain. Setiap kelompok menyatakan bahwa keberadaan mereka di kampung itu hanyalah untuk melindungi para penduduk kampung. Tetapi mayat-mayat semakin sering ditemukan. Ledakan dan suara tembakan kerap terdengar dan bau mesiu menjadi aroma sehari-hari yang dicium penduduk kampung saat mereka menghirup oksigen.

Setiap hari Jum’at para penduduk bergotong royong untuk membersihkan semua tembok dan jalan di kampung itu dari bekas dan jejak-jejak darah mengering yang entah milik mayat yang mana. Namun cipratan dan bekas darah manusia itu tak dapat dibersihkan dengan air ledeng, air hujan atau air apa pun, apalagi dengan airmata.

Sampai pada suatu saat, antara gembira dan cemas, ia mendapat kabar bahwa permohonan beasiswanya diterima. Ia akan pergi ke Negeri Seribu Menara.

“Kau sudah lulus. Kau akan pergi ke luar negeri. Kau akan kembali sesudah menjadi doktor,” Ayahnya diluapi kebanggaan.

“Ya, ayah. Tapi aku akan pulang setiap hari raya,” kata pemuda itu.

“Kau tidak akan kembali sebelum menjadi doktor, baik pada hari raya atau hari apa pun…”

“Ayah….”

Ia tak mengerti mengapa ayahnya berkata seperti itu ketika melepasnya di bandara. Tapi ia tak terlalu memikirkannya. Ia akan kuliah sambil bekerja di luar negeri. Ia akan berhemat dan mengumpulkan uang agar bisa pulang paling tidak dua tahun sekali.

Namun bayangan ayahnya muncul bersama surat orangtua itu. Surat-surat yang selalu disertai kalimat serupa: Jangan pernah kembali ke sini, kecuali kau ingin mati.

Mengapa?

Meski tak memahami, ia mencoba menurut saat ayah melarangnya pulang.

Sebenarnya pernah dua-tiga kali ia putuskan untuk pulang, apa pun yang terjadi. Terutama saat malam-malamnya disesaki oleh wajah ibu dan adiknya. Ah, adik kecilku, usia kami bertaut 10 tahun. Sudah sebesar apa ia sekarang?

Lelaki itu pun memesan tiket pesawat dan merencanakan semua. Namun tiba-tiba surat ayahnya datang lagi dengan nada yang lebih menghibakan:

Ibu dan adikmu sehat. Kami baru saja pindah dari rumah kita yang lama. Keadaan semakin mencekam.

Anakku sayang, tolong, jangan berpikir dulu untuk pulang. Di sini semua jalan diblokir dan perbatasan dijaga dengan sangat ketat entah oleh siapa. Setiap saat orang yang tak bersalah pun bisa tertembak. Dan kalau ada apa-apa denganmu, kau tahu, kami tak siap. Aku atau ibumu bisa meninggal mendadak.

Tetapi kini, telah lebih dari sepuluh tahun, jerit batinnya. Ia sudah menjadi doktor seperti yang didambakan ayah, keluarga dan penduduk kampungnya. Mengapa ia belum boleh kembali? Bukankah dulu mereka yang memintanya cepat kembali untuk bersama membangun kampung halaman?

Ketika kau pergi, semua baru permulaan, nak. Kini setiap hari selalu  ada mayat yang ditemukan di bukit, sungai, jurang dan jalan raya. Selalu ada rumah dan sekolah yang terbakar. Setiap saat terdengar suara tembakan atau ledakan, tulis ayahnya. Kami harus pandai menyelamatkan diri agar tetap bernapas keesokan harinya.

Ya, bertahun-tahun ia meresapi kegemparan tersebut lewat layar komputernya saat membuka internet, mencari tahu tentang kondisi kampung halamannya tercinta. Karena itulah, kian hari resahnya kian menggunung. Bukankah ia harus ada di sana untuk melindungi ayah, ibu dan adiknya?

Ia mencoba untuk memejamkan mata dan berbaring di samping wajah istrinya yang bening. Istri. Aku bahkan sudah memiliki dua orang anak. Betapa ia mendambakan keluarga kecilnya bertemu dengan kedua orangtua dan saudaranya. Ibu dan adiknya tentu akan gemas melihat langsung kedua gadis kecilnya yang berambut merah kecoklatan, juga istrinya, perempuan cantik asal Negeri Seribu Menara yang mengenakan kerudung sejak remaja, seperti hampir semua wanita di kampung halamannya.

Ia mencium kening istrinya, lama sekali. Perlahan ia bangkit dan masuk ke kamar sebelah, merapikan selimut dan mencium pipi kedua anaknya yang telah nyenyak. Ia singgah sesaat ke ruang kerjanya, merapikan berkas-berkas yang esok akan dibawa dalam meeting di perusahaan kecilnya. Ia raih beberapa buku referensi yang akan dipakainya mengajar di universitas dan memasukkannya dalam tas.

Ia akan pulang. Ia harus pulang. Kali ini tak ada berita atau surat yang akan mencegah rindu yang ditanamnya bertahun-tahun.

Sementara, jauh sekali dari tempat lelaki itu berdiri….

Di pojok sebuah rumah, seorang gadis berkerudung, berusia sekitar 20 tahun, mengambil secarik kertas dengan tangan gemetar. Sebelum meraih pulpen, ia bersihkan sedikit tanah merah kuburan, yang menempel di sela jarinya.

Aku merindukanmu, tapi jangan pulang. Sejak lima tahun lalu, orang-orang yang entah siapa telah membunuhi orang-orang cerdas dan para pemikir di kampung kita. Di sini sudah banyak sarjana dan cendekiawan yang mati. Jadi, kumohon, jangan kembali….

Wajah gadis itu mengeras. Seperti televisi, mata merahnya mengulang lagi peristiwa senja itu dalam adegan-adegan lambat. Suara motor di halaman, langkah ayah yang bergegas membuka pintu, suara tembakan beberapa kali…lalu teriakan ibunya. Ia seakan berhenti bernapas saat menemukan ayahnya, dosen di sebuah universitas  itu, terkapar di beranda dengan tubuh bolong. Ibunya yang guru sebuah SMU, juga meninggal akibat luka tembak. Semua terjadi begitu cepat.

Tetes airmata gadis itu jatuh di atas kertas surat yang tak wangi. Tolong jangan pulang, bang. Nanti Abang bisa mati.

***

Kairo-Cipayung, April 2002

Dari buku: Luka Telah Menyapa Cinta, FBA Press, 2002

JARING-JARING MERAH (Helvy Tiana Rosa)


Apakah kehidupan itu? Cut Dini, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari yang meranggas lara.

Ya, sebab aku hanya bisa memendam amarah. Bukan, bukan pada rembulan yang mengikutiku saat ini atau pada gugusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal sebatas luka. Seperti juga hidup itu.

Dan kini hari telah semakin gelap. Aku tersaruk-saruk berjalan sepanjang tiga kilometer dari Seurueke, menuju Buket Tangkurak, bebukitan penuh belukar dan pepohonan ini. Dadaku telah amat sesak, tetapi langkahku makin kupercepat. Lolong anjing malam bersahut-sahutan, seiring darah yang terus menetes dari kedua kakiku. Perih. Airmataku berderai-derai.

“Ugh!”

Aku tersandung gundukan tanah. Dalam remang malam, kulihat dua ekor anjing hutan mengorek-ngorek sesuatu, dan pergi sambil menyeret potongan mayat manusia. Mereka menatapku seolah aku akan berteriak kengerian.

Ngeri?

Oi, tahukah anjing-anjing buduk itu, aku melihat tiga sampai tujuh mayat sehari mengambang di sungai dekat rumahku! Aku juga pernah melihat Yunus Burong ditebas lehernya dan kepalanya dipertontonkan pada penduduk desa. Aku melihat orang-orang ditembak di atas sebuah truk kuning. Darah mereka muncrat ke mana-mana. Aku melihat tetanggaku Rohani ditelanjangi, diperkosa beramai-ramai, sebelum rumah dan suaminya dibakar. Aku melihat saat Geuchik Harun diikat pada sebuah pohon dan ditembak berulangkali. Aku melihat semua itu! Ya, semuanya. Juga saat mereka membantai … keluargaku, tanpa alasan.

Ffffffhuuih, kutarik napas panjang. Jangan menangis lagi, Inong! Kering airmatamu nanti. Meski lelah, lebih baik meniru anjing-anjing itu.

Aku merangkak dan maju perlahan. Dengan tangan kosong kuraup gundukan tanah me­rah di hadapanku. Terus tanpa henti kugunakan kedua cakar tangan ini. Keringatku meng­u­cur deras, wajah dan badanku terkena serpihan tanah merah. Sedikit pun tak kuhiraukan bau bang­kai manusia yang menyengat hidung.

Tiba-tiba tanganku meraba sesuatu. Kudekatkan benda dingin itu ke mukaku. Tulang. Ba­nyak tulang. Cakarku terus menggali. Kutemukan beberapa tengkorak, lalu remah-remah da­ging manusia. Ah, di mana? Di mana tangan kurus Mak? Mana jari manis dengan cincin khas itu? Juga cincin tembaga berbatu hijau dan arloji tua yang dikenakan ayah saat orang-orang bersenjata itu membawanya dalam keadaan luka parah. Di mana? Di mana tangan-tangan mereka? Di mana tulang-tulang mereka di tanam? Di mana wajah tampan Hamzah? Yang mana tengkoraknya?

Sekujur tubuhku gemetar menahan buncahan duka. Aku menggali, terus menggali. Hing­ga aku semakin lemas dan akhirnya kembali terisak pilu. Meratapi orang-orang yang kukasihi, yang beberapa waktu lalu digiring ke bukit ini.

Sssssssttt!

Tiba-tiba, di antara suara serangga malam, kupingku mendengar langkah-langkah orang. Sepatu-sepatu lars yang menginjak ranting dan daun kering. Mereka menuju ke arahku!

Aku harus menyanyi. Ya, menyanyi nyaring, dengan iringan dawai kepedihan dari sanubari sendiri.

“Perempuan gila itu!” suara seseorang gusar.

“Sayang, dulu ia cantik…,” ujar yang lain.

“Ya, juga sangat muda. Ah, sudahlah, biarkan saja,” kata yang ke tiga. “Ia tak berbahaya. Hanya tertawa dan menangis. ”

Aku pura-pura tidak mendengar perkataan si loreng-loreng itu. Mereka gila karena mengira aku gila. Tak tahukah mereka bahwa aku tak menyanyi sendiri? Aku bernyanyi bersama bulan, awan dan udara malam. Bersama desir angin, burung hantu dan lolong anjing hutan. Bersama bayangan Ayah, Mak, Ma’e dan Agam. Kami menyanyi, kami menari bungong jeumpa. Lalu aku tersenyum malu, saat Hamzah yang telah meminangku, melintas di depan rumah dengan sepedanya. Dahulu. Ya, dahulu….

***

 

“Inong….”

Aku menggeliat. Cahaya mentari masuk dari celah-celah bilik. Hangat. Ah, di mana aku? Dipan ini penuh kutu busuk. Berarti…,ya, aku di rumah. Aku bangkit, mencoba duduk.

“Dari mana, Inong? Aku mencarimu seharian. Ureung-ureung menemukanmu di tepi jalan ke Buket Tangkurak, subuh tadi.

Kutatap seraut wajah dalam kherudoung putih di hadapanku. Cut Dini. Tangannya lembut membelai kepalaku.

“Aku cuma jalan-jalan. Aku tidak mengganggu orang,’ jawabku sekenanya.

“Aku tahu. Kau anak baik. Kau tak akan mengganggu siapa pun…, tetapi jangan pergi ke bukit itu atau bahkan ke rumoh geudong lagi. Berbahaya. Lagi pula kau seorang muslimah. Tidak baik pergi sendirian,” kata Cut Dini sambil memberiku minum.

Kugaruk-garuk kepalaku. “Therimoung… ghaseh…,” kuteguk minuman itu.

Cut Dini. Ia sangat peduli. Matanya pun selalu menatapku penuh pancaran kasih.

Aku kembali merebahkan badan di atas dipan. Sebenarnya aku tak tahu banyak tentang Cut Dini. Aku belum begitu lama mengenalnya. Orang-orang bilang ia anggota …apa itu … LSM? Juga aktivis masjid. Ia kembali ke Aceh setelah tamat kuliah di Jakarta. Dan … cuma dia, di antara para tetangga, yang sudi berteman denganku. Ia memberiku makan, memperhatikanku, menceritakan banyak hal. Aku senang sekali.

Dulu, setelah keluargaku dibantai dan aku dicemari beramai-ramai, aku seperti terperosok dalam kubangan lumpur yang dalam.  Sekuat tenaga kucoba untuk muncul, menggapai-gapai permukaan.  Namun tiada tepi.  Aku tak bisa bangkit, bahkan menyentuh apa pun, kecuali semua yang bernama kepahitan.  Aku memakan dan meminum nyeri setiap hari.  Sampai aku bertemu Cut Dini dan bisa menjadi burung.  Segalanya terasa lebih ringan.

Tetapi tetap saja aku senang berteriak-teriak.  Aku melempari atau memukul orang-orang yang lewat.  Hingga suatu hari orang-orang desa akan memasungku. Kata mereka aku gila! Hah, dasar orang-orang gila! Cut Dini-lah yang melarang. Cut Dini juga yang mengingatkanku untuk mandi dan makan. Ia menyisir rambutku, mengajakku ke dokter, ke pengajian, atau sekedar jalan-jalan.

“Baju yang koyak itu jangan dipakai lagi,” kata Cut Dini suatu ketika.

“Aku suka,” kataku pendek. “Ini baju yang dijahitkan Mak. Aku memakainya ketika orang-orang jahat itu datang.”

“Itu baju yang tak pantas dilihat. Nanti orang-orang itu bisa menyakitimu lagi,” katanya pelan.

Kupandang baju ungu muda di tanganku. Tangannya koyak, ketiaknya juga. Lalu di dekat perut, di belakang…, bahkan ada sisa-sisa darah kering di sana.

“Aku ingin memakainya,” lirihku. “Apa aku gila?” tanyaku.

Cut Dini menatap bola mataku dalam. “Menurutmu?”

Aku menggeleng kuat-kuat. Menggaruk-garuk kepalaku.

“Kau sakit. Kau sangat terpukul,” ujar Cut Dini. Kulihat ia menggigit bibirnya sesaat. Lalu dengan cekatan membungkus baju itu dengan koran.

Aku mengangguk-angguk. Terus mengangguk-angguk, sambil menggoyang-goyangkan kedua kakiku. Aku suka membantah orang, tetapi tidak Cut Dini.

“Sudahlah.”

Lalu seperti biasanya Cut Dini mengambil Al Quran mungilnya dan membacanya deng­an syahdu. Suaranya kadang berubah. Aku seperti mendengar Hamzah mengaji—lewat pe­nge­ras suara– di musala.

Ah, meski tak mengerti, aku ingin menangis setiap mendengar bacaan Al Quran.

***

Siang itu aku sedang menjadi burung. Aku terbang tinggi dan kadang menukik seketika. Aku hinggap di ranting-ranting pohon belakang dan mematuki buah-buah di sana. Huh, se­mu­anya busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja topi-topi merah si loreng dan kubakar. Hua…ha…ha, aku tertawa gelak-gelak.

“Siapa kalian?” tiba-tiba kudengar suara Cut Dini bergetar, di ruang tamu yang merangkap kamar tidurku.

Aku terbang dan hinggap pada meja kusam di samping rumah, lalu mengintip ke dalam le­wat jendela yang rapuh. Dua lelaki tegap dengan rambut cepak menyodorkan sesuatu pada Cut Dini.

“Kami orang baik-baik. Kami hanya ingin memberikan sumbangan sebesar lima ratus ri­bu rupiah pada Inong. “

Aku nyengir. Lima ratus ribu? Horeeee! Apa bisa buat beli sayap?

“Kami minta ia tidak mengatakan apa pun pada orang asing. Ia atau bisa saja anda seba­gai walinya menandatangani kertas bermaterai ini.”

Cut Dini membaca kertas itu. Kulihat wajahnya marah. Mengapa? Kugerak-gerakkan kepalaku menatap mimiknya, lebih lekat dari jendela.

“Tidak!! Bagaimana dengan pemerkosaan dan penyiksaan selama ini, penjagalan di rumoh geudong, mayat-mayat yang berserakan di Buket Tangkurak, Jembatan Kuning, Sungai Tamiang, Cot Panglima, Hutan Krueng Campli…dan di mana-mana!” suara Cut Dini meinggi.  “Lalu perkampungan tiga ribu janda, anak-anak yatim yang terlantar…, keji that! Tidak!”

Kedua orang itu tampak gugup dan sesaat saling berpandangan.  “Kami hanya menindak  para GPK.  Ini daerah operasi militer.  Kami menjaga keamanan masyarakat.”

“Oh ya?” nada Cut Dini sinis.  “Kenyataannya masyarakat takut pada siapa? Dulu, banyak yang terpaksa menjadi cuak, memata-matai dan menganggap teman sendiri sebagai pengikut Hasan Tiro dari Gerakan Aceh Merdeka. Tetapi sekarang semua usai. Tak ada tempat bagi orang seperti kalian di sini.”

“Sudahlah, ambil saja uang ini buat anda. Lupakan saja gadis gila itu.”

Apa? Gadis gila?? Kukepakkan sayapku dan menukik ke arah dua lelaki itu. Kulempar mereka dengan apa pun yang kutemui di meja dan di lantai. Aku berlari ke dapur, dan kembali menimpuki mereka dengan panci dan penggorengan. Mereka berteriak-teriak seper­ti anak kecil dan berebutan keluar rumah. Pasti itu ayah orang yang memperkosaku! Pasti ia te­man para pembunuh itu! Pasti mereka orang-orang gila yang suka menakut-nakuti or­­­ang! Paling tidak mereka cuak! Aku benci cuak!

“Inong….”

Aku berhenti melempar. Aku berhenti jadi burung ajaib. Orang-orang itu kini hanya titik di kejauhan.

“Masya Allah, nanti perabotan itu rusak,” suara Cut Dini, tetap lembut. “Benahi yang rapi lagi, ya. Aku mau shalat Lohor dulu,” katanya.

“Mengapa aku tak pernah diajak shalat?” protesku. “ Dulu aku shalat bersama keluargaku, sebelum aku bisa jadi burung,” tukasku.

“Jangan menjadi burung, bila ingin salat seperti manusia,” kata Cut Dini tersenyum.

***

“Keluar, Zakariaaa! Keluar! Atau kami bakar rumah ini!!”

Aku terbangun dan mengucek kedua mataku. Ada apa? Pintu rumah kami digedor-gedor. Ayah berjalan ke arah pintu diikuti Mak. Lalu Ma’e dan Agam, abang dan adikku.

Ketika pintu dibuka, tiba-tiba saja Ayah diseret keluar, juga Agam dan Ma’e! Beberapa orang mengangkat Mak dan membawanya pergi! Sebelum aku berteriak, beberapa tangan kekar merobek-robek bajuku! Aku meronta-ronta. Kudengar Ayah tak putus berdzikir. Dzikir itu lebih mirip jeritan yang menyayat hati.

“Ini pelajaran bagi anggota GPK!” teriak seorang lelaki berseragam. Kurasa ia seorang pemimpin.  “Zakaria dan keluarganya membantu anak buah Hasan Tiro sejak lama!”

Warga desa menunduk. Mereka tak mampu membela kami. Dari kejauhan kulihat api berkobar. Puluhan orang ini telah membakar beberapa rumah!

“Jangan ada yang menunduk!”

Aku gemetar mendengar bentakan itu.

“Ayo lihat mereka. Kalian sama dengan warga Mane … bekerjasama dengan GPK!” suaranya lagi.

“Kami bukan GPK!”suara Ma’e.

“Lepaskan mereka. Kalian salah sasaran!” Ya Allah, itu suara Hamzah!

“Angkut orang yang bicara itu!”

Aku melihat Hamzah dipukul bertubi-tubi hingga limbung, lalu…ia diinjak-injak! Dan diseret pergi. Airmataku menderas.

“Siapa lagi yang mau membela?” tantang lelaki penyiksa itu pongah.

“Kami tidak membela, mereka memang bukan orang jahat,” suara Geuchik Harun. “Pak Zakaria hanya seorang muadzin. Jiibandum ureung biasa.” Samar-samar kulihat kepala desa kami itu diikat pada sebatang pohon.

Serentetan tembakan segera menghunjam tubuh Geuchik Harun, lalu Ma’e abangku! Aku histeris. Tak jauh, kulihat Agam tersungkur dan tak bergerak lagi, lalu Ayah yang berlumuran darah! Tangan-tangan kekar menyeret mereka ke arah truk.

“Bawa mereka ke bukit dekat jalan buntu! Juga gadis itu!”

Aku meronta, menendang, menggigit, mencakar, hingga aku letih sendiri. Dan aku tak ingat apa-apa lagi, saat tak lama kemudian, nyeri yang amat sangat merejam-rejam tubuhku!

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”aku berteriak sekuat-kuatnya.

“Astaghfirullah, Inong! Inong, bangun!”dua tangan menggoncang-goncang badanku.

Airmataku menganak sungai, tetapi aku tak bisa bangun, sebab aku berada di dalam jaring! Banyak orang-orang sepertiku di sini, di dalam jaring-jaring merah ini.

“Inong, istighfar….”

Tangan-tangan raksasa itu mengayun-ayunkan jaring. Aku dan kumpulan manusia di sini berjatuhan ke sana kemari. Kami tak bisa keluar dari sini! Tolong! Toloooooong! Di mana sayapku? Di mana? Di mana tangan Mak dengan cincin khas di jari manisnya? Aku ingin menggenggamnya. Di mana Ayah, Agam dan Ma’e? Di mana wajah saleh milik Hamzah? Di mana tengkoraknya?

Tangan-tangan raksasa itu menggerakkan jaring ke sana kemari. Aku jatuh lagi. Merah. Silau. Pusing. Pedih. Wajah-wajah dalam jaring pias. Wajah-wajah itu retak, terkelupas dan berdarah. Aku menjerit-jerit dalam perangkap. Di mana sayapku? Aku ingin terbang dari sini! Oiiii, tolong ambilkan sayapku! Aku ingin pindah ke awan! Di tanah kebanggaanku hanya tersisa nestapa!!

Tak ada yang mendengar. Sebuah pelukan yang sangat erat kurasakan. Lalu airmata seseorang yang menetes-netes dan bercampur dengan aliran air di pipiku.

“Allah tak akan membiarkan mereka, Inong! Tak akan! Kau harus sembuh, Inong! Semua sudah berlalu. Peristiwa empat tahun lalu dan rezim ini. Tegar, Inong! Tegar! Laa haula walaa quwwata illa billah….

Kabur. Samar kulihat Cut Dini. Wajah tulus dengan kerudung putih itu. Ia mengusap airmataku.

Lalu tak jauh di hadapanku, kulihat beberapa orang. Di antaranya berseragam. Tiba-tiba takutku naik lagi ke ubun-ubun. Aku menggigil dan mendekap Cut Dini erat-erat.

“Ia hanya satu dari ribuan korban kebiadaban itu, Pak. Tolong, beri kami keadilan. Bapak sudah lihat sendiri. Oknum-oknum itu menjarah segalanya dari perempuan ini!”

Takut-takut kuintip lelaki tegap yang sedang menatapku ini. Apakah ia membawa jaring-jaring untuk menangkapku lagi?

“Pergiiiii! Pergiiii semuaaaa!” teriakku. “Pergiiiiiiii!” aku menjerit sekuat-kuatnya. Pergiiiiii!” Aku menceracau.  Sekujur badanku bergetar, terasa berputar.  Orang-orang ini tersentak, menatapku kasihan.  Hah, apa peduliku?! Aku ingin berteriak, mengamuk, memporakporandakan apa dan siapa pun yang ada di hadapanku! Aku…

Tiba-tiba suaraku hilang. Aku berteriak, tak ada suara yang keluar. Aku menangis tersedu-sedu, tak ada airmata yang mengalir.  Aku mengamuk panik, tetapi kaku. Aku mencari bunyi, mencari bening, mencari gerak. Tak ada apa pun. Cuma luka nganga.

“Inong…, mereka akan membantu kita….”

Aku terkapar kembali. Menggelepar.  Berdarah dalam jaring.

***

Cipayung, Juli 1998

Majalah Horison, April, 1999

Cerpen ini  dinobatkan sebagai salah satu cerpen terbaik Horison selama sepuluh tahun terakhir (1990-2000).

Dari Buku Lelaki Kabut Dan Boneka, Syaamil 2002

 

KETIKA CINTA MENEMUKANMU (Helvy Tiana Rosa)


Apakah bintang masih ada di langit yang sama?

Mak pernah berkata bintang-bintang dan rembulan itu akan selalu berpendar di langit dan aku bisa menyaksikannya selama malam masih ada. Mak bilang aku dapat merasakan hangat matahari selama pagi dan siang setia mengunjungi bumi. Aku juga menyukai kilat yang datang kala hujan menderas, walau seharusnya mereka tak perlu menggelegar. Cukup beri cahaya, pendar meski sesaat.

Tapi entah sejak kapan, hidupku dipenuhi gelegar kilat semata. Aku tahu itu bukan petanda datangnya hujan, saat semua orang di sekitarku menangis, berlari sambil melolong ketakutan. Lalu satu-satu dari mereka jatuh menggelepar dengan tubuh bolong dan berdarah.

Sejak saat itu, bintang, bulan dan matahari tak pernah ada di langitku. Hanya senapan, bom, darah, airmata dan nestapa saat aku menatap tanah yang kuinjak atau langit di atas kepalaku. Saat Mak dan Abu tak lagi bersuara selamanya karena harus ditanam dalam tanah. Tak ada apa pun kecuali perih yang menyebar begitu cepat.

Dan perih itu semakin mengganas menggerogotiku saat maha gelombang itu datang. Mereka menyebutnya tsunami. Namun nama itu terlalu sederhana dibandingkan dengan apa yang dapat dilakukannya. Tsunami meruntuhkan semua bangunan, gedung bertingkat bahkan menara. Ia menggulung segala dan hanya menyisakan sedikit puing di antara genangan air, untuk kupandangi atas nama kenangan. Dua Cut Abang-ku hilang. Mungkin mati.

Di dekat bundaran Lambaro itu seakan masih kulihat tumpukan mayat-mayat hitam yang berjajar. Ketika sadar, meski belum pulih, aku memaksakan diri mencari sosok Cut Abang di sana. Siang, senja hingga malam datang dan aku harus menggunakan senter untuk mencari wajah yang kuakrabi bertahun-tahun itu. Pada mayat ke seratus, aku menyerah. Tak ada Cut Abang. Dan aku tak mampu mencarinya lagi di antara ratusan mayat lain yang tersisa. Tanganku penuh lumpur, kebas dan seakan tak bisa lagi digerakkan. Tangan itu kecil dan seakan semakin mengecil. Tak mungkin lagi aku menjamah bukit mayat dan memeriksa sosok di sana satu persatu. Hanya tangisan tanpa airmata dan rasa mual yang mengaduk perut sampai kepala.

“Adik sayang, kamu melamun lagi?”

Sapa lembut itu menyejukkanku. Cut Isma. Aku selalu menyukainya. Di wajah Cut Isma banyak bintang, begitu terang. Senyumnya mengingatkanku pada setengah garis lingkaran yang dibuat ibu guru di sekolah, atau seperti lengkungan pelangi terbalik. Cut Isma selalu tersenyum dengan hati. Dan kerudung putihnya lucu sekali, karena sering meliuk-liuk ditiup angin kencang yang selalu datang setelah tsunami melanda.

Cut Isma masih kuliah tingkat akhir di Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Di sela waktunya ia rutin ke pengungsian dan bersama Di serta teman-teman mereka yang lain, membagikan cinta pada kami.

“Lihat, siapa itu?” katanya berbinar namun dengan kening sedikit dikerutkan.

“Di! Di!” Aku ingin melompat setinggi-tingginya dan memeluk laki-laki yang baru turun dari mobil putih rumah sakit itu.

“Apakabar, Cut Nyak Dhien?”

Lon baik. Lon….

“Apa kamu sudah makan, Cut Nyak?”

Aku mengangguk, tak bisa menahan tawa yang membuncah setiap kali melihatnya.

“Jalan-jalan?” ajaknya.

Aku mengangguk lagi.

Dan seperti senja-senja yang lalu, lelaki itu menggandengku pergi. Meninggalkan Cut Isma yang melambaikan tangannya pada kami.

Sebenarnya aku sudah lama mengenal Di, dokter muda dari Jakarta itu. Aku bertemu dengannya di dekat masjid Baiturrahman. Ia bilang ia menemukanku pingsan di jalan. Aku tak ingat apa yang terjadi kecuali samar. Mak dan Abu terkapar di depan perahu besar yang tiba-tiba sudah berada di darat. Cut Abang hilang dibawa arus yang menggila. Seperti seekor sapi yang sekarat, aku hanya bisa melenguh. Beberapa orang meyeretku ke pinggir sesudah seseorang berteriak: “Dia masih hidup!” Lalu aku tak ingat apa-apa lagi.

Aku selalu ingin menangis saat teringat akan hal itu. Tapi airmata telah berubah menjadi lara yang menyergapku dalam setiap cuaca.

“Siapa namamu?”

Aku tahu namaku tapi aku tak mau mengingatnya. Tidak, sebenarnya aku tak ingat namaku. Aku ingin menjadi orang lain saja. Aku merasa sudah mati.

“Sayang, siapa namamu?”

Aku hanya diam dan tak pernah menjawab kala ia menanyakan namaku.

Sekian lama Dokter Di merawatku. Di membalut sendiri perban di kepala, lengan dan kakiku. Lambat laun kami menjadi sangat dekat. Kami seperti teman. Makanya ia memintaku untuk memanggilnya Di saja. Sedang Di memanggilku “Cut Nyak Dhien”

Mengapa Di memanggilku Cut Nyak Dhien? Aku selalu ingin bertanya padanya.

Dan seperti bisa menebak pikiran ini, suatu hari ia tersenyum lebar seraya menjelaskan, “Di pernah membaca, Cut Nyak Dhien itu artinya “gadis kecil yang manis”. Jadi Di memanggilmu itu saja, sampai kamu ingat namamu. Lagi pula siapa tahu suatu saat kamu menjadi Cut Nyak Dhien baru yang membangkitkan Aceh kita sekali lagi! Ya, kan?”

Aku ingin menangis waktu Di berkata seperti itu. Dulu setiap mau tidur Mak sering menceritakan tentang para perempuan pahlawan Aceh. Ada Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Pocut Meurah Intan, Pocut Baren, Keumalahayati, Sultanah Safiatuddin Syah dan masih banyak lagi. Karena itu Mak memanggilku…ah, aku tak juga bisa mengingat namaku. Aku tak mau. Biar kuingat saja nama-nama pahlawan perempuan itu.

Dan Di?

Ia sering menceritakan hal yang membuatku tertawa atau membuat wajahnya yang tampan terlihat lucu. Di sangat menyukai anak-anak yang dijumpainya di mana saja. Juga yang kini tinggal di tenda-tenda pengungsian yang disebut Cut Isma ‘tempat penampungan yang tercinta’ itu.

Betapa gembira bila aku bersama Di. Aku ingin selamanya Di tinggal di sini, di dekatku. Rasa tak enak tinggal berhimpit dan kedinginan dalam tenda tak ada artinya bila Di ada. Aku tak punya siapa pun di sini, kecuali Di. Ya, Di dan Cut Isma. Orang menyebut  mereka relawan karena mereka selalu rela melakukan apa saja untuk membantu kami di pengungsian. Aku tak bisa membayangkan bila aku tak bertemu mereka.

“Cut Nyak Dhien, ini rahasia antara kita, ya. Di suka sekali dengan perempuan Aceh. Mereka kuat, tegar, berjilbab. Ya seperti Cut Nyak ini!” kata Di suatu hari.

Aku terbelalak sesaat. Di orang Jawa. Dia suka perempuan Aceh. Perempuan Aceh akan suka pada Di!

“Tapi menurut Cut Nyak, apa perempuan Aceh suka pada lelaki Jawa?” mata Di berkedip tak  yakin.

Aku mengangguk. Aku menggeleng. Aku mengangguk lagi dan menggeleng lagi.

“Ya, memang ada yang suka dan ada yang tidak. Kalau Cut Nyak Dhien?”

Aku mengangguk kuat-kuat.

Di tertawa. “Gadis kecil manisku, Di akan pergi mencari mie Aceh kesukaanmu. Ayo ikut! Kita ajak teman-temanmu yang lain!”

Tak ada hujan. Tapi hari-hari dengan Di menyebabkan pelangi. Dengan Di aku bisa menjadi Cut Kak bagi puluhan pengungsi kecil tak berayah ibu, yang tinggal di tenda sekitarku. Kami belajar, mengaji dan bernyanyi bersama.

Di juga yang mengingatkanku untuk shalat tepat waktu dan tak henti berdoa.

“Setiap orang baik akan bertemu dengan orang baik lain yang dicintainya di surga,” ujar Di. “Itu janji Allah.”

Kami semua lalu berdoa bersama, agar kelak diperkenankan bertemu Mak, Abu, Abang, Kakak atau adik kami di jannah. Diam-diam aku selalu menambahkannya lebih panjang. Aku ingin bersama dengan Di dan Cut Isma juga di surga nanti.

Tak terasa, hampir dua bulan tsunami berlalu. Selama itu pula aku belum pernah lagi melihat hujan atau pelangi. Aku masih tak bisa, tak mau mengingat namaku. Bayang wajah Mak, Abu dan Cut Abang masih muncul setiap jam. Tsunami mengejarku hingga ke dalam mimpi, namun Di dan Cut Isma menyelamatkanku.

Hari ini aku melihat Di tak seperti biasa. Ia sangat rapi dan harum. Ia datang ke dalam tenda kami sambil membawa koper dan ransel besarnya. Aku hampir menangis saat Di bilang ia harus pergi.

Mengapa? Tanyaku. Mengapa Di harus pergi? Bukankah Di ingin tahu namaku?

“Ada yang harus Di kerjakan, Cut Nyak. Jangan bersedih, suatu saat Di akan kembali.”

Lon ingin ikut. Mataku berputar-putar, menengadah. Sebentar lagi airmataku akan tumpah dan aku tak boleh membiarkannya.

“Di pergi bersama Cut Isma.”

Cut Isma. Jangan. Lon tak ingin Cut Isma pergi juga.

“Cut Nyak pasti tak mengira. Kami akan menikah. Dan Cut Nyak Dhien yang telah mempertemukan kami.”

Aku ingin menangis, tapi tak bisa. Tak boleh. Jangan, jangan pergi. Jangan menikah.

Lon ingin ikut.

“Kalau kami kembali, kami berjanji akan melihat Cut Nyak.”

Lon belum ingat nama lon. Jangan pergi. Suaraku tersekat. Selalu.

Tiba-tiba Cut Isma muncul dengan wajah bintangnya. Ia memelukku erat dan menciumi kedua pipiku.

Sore itu angin bertiup kencang. Dari balik tenda yang kumuh, aku menatap Di dan Cut Isma berjalan meninggalkan tempat pengungsian. Sesuatu merembesi batin. Ya kesunyian yang tak pernah gagal merayapiku itu datang kembali. Cinta yang mulai kutanam berserakan di antara reruntuhan kalbuku. Dan kini aku sendiri di sini bersama para pengungsi yang merintih setiap hari.

Tak ada lagi yang akan menanyakan nama atau memanggilku dengan Cut Nyak Dhien. Tiba-tiba aku teringat lagu yang pernah dinyanyikan Mak dalam sepi. Lagu tentang “gadis kecil yang manis.” Cut Nyak Dhien.

Saat itu aku ingat namaku. Aku harus terus mengingatnya, memakainya. Aku harus senang saat orang-orang memanggilku dengan nama itu di tengah ketakberdayaan yang beranak pinak dalam diriku.

Cut Nyak Dhien. Mak dan Abu ingin aku seperti Cut Nyak Dhien! Tapi siapa peduli? Adakah yang peduli bila aku juga mampu mengingat semua nama anggota keluargaku yang hilang dan tewas? Adakah yang peduli bila aku ingin seperti Cut Nyak Dhien?

Mataku menghangat. Basah.

Aku hanya gadis kecil 12 tahun yang dipenuhi lara. Bahkan mengucapkan nama diri dengan bibirku sendiri aku tak mampu. Hanya satu suara yang bisa keluar dari kerongkonganku: “Di!”

Untuk pertama kalinya setelah tsunami, gerimis turun senja itu. Tapi di Nanggroe yang terluka, hujan tak pernah menjanjikan pelangi atau sebuah nama.

Kutarik napas tak panjang. Ini Aceh. Meski nestapa dan sendiri aku harus tetap berdiri, sampai suatu masa cinta akan menemukan dan menyapaku kembali.

***

Banda Aceh, 14 Februari 2005

Dari buku: Ketika Cinta Menemukanmu, GIP, 2005