Jangan pernah kembali ke sini, kecuali kau ingin mati.
Itulah peringatan dalam surat terakhir yang ia terima dari ayahnya, sebulan lalu. Beberapa waktu sebelumnya ia memang mengabarkan pada sang ayah di kampung halaman, bahwa ia sudah tak tahan lagi bertarung dengan rindu. Ia harus pulang.Kembali ke pangkuan ibu. Ia ingin memeluk ibu dan adiknya, para perempuan yang ia tahu tak pernah berhenti mengiriminya airmata.
Ah, matanya yang basah memicing dan berhenti di sudut kamar. Ia menyimpan semua di sana. Semua oleh-oleh yang dikumpulkannya setiap tahun untuk mereka. Dulu, ia sering mengirim uang, foto, kain, kerudung, dan tanda mata lainnya melalui jasa pos atau titipan kilat ke kampung halamannya.
Tak ada apa pun yang sampai di sini anakku. Hanya bayanganmu dan maut yang mengendap-endap, tulis ayahnya ketika ia tanyakan apakah kirimannya sampai pada mereka.
Ia mengirim rindu dan kecemasannya bersama beberapa titipan itu. Surat dan foto sampai, namun kabarnya, titipan itu hilang atau dirampas di perjalanan. Tak pernah ada kejelasan.
Dia tak pasti berapa lama telah meninggalkan kampungnya. Lebih dari sepuluh atau sebelas tahun, mungkin. Ia pergi belajar ke luar negeri, karena mendapat beasiswa, juga untuk memenuhi keinginan orangtuanya. Keinginan hampir semua orang di kampungnya.
“Kampung ini harus mempunyai banyak orang pintar, agar masyarakat tak terus dibodohi. Jadilah pintar, anakku,” kata ayahnya memohon.
Dibodohi. Ia terbiasa mendengar kata itu sejak kecil. Ada geram menyergap dada. Ya,kampung halamannya memang kaya, tetapi lihat, apakah yang dimiliki penduduk kampung kecuali sepetak rumah dan sepetak tanah bila beruntung? Orang-orang kampungnya juga banyak merantau karena tak memiliki pekerjaan di tanah sendiri.
Lalu entah sejak kapan, kampung mereka dilanda kerusuhan. Ia merasakannya pertama kali saat sekolah menengah pertama-nya dibakar sekelompok orang tak dikenal. Keesokan harinya dengan mengenakan seragam ia pergi ke sekolah seperti biasa. Yang ia temukan hanya bangkai gedung dan bau hangus di udara. Angin meniupkan abu sisa pembakaran yang singgah di matanya. Ia temukan duka membelit-belit wajah para guru dan teman-teman sekolahnya.
Sejak itu di kampungnya selalu ada kebakaran. Sasarannya bukan hanya rumah penduduk, tetapi juga sekolah. SD adiknya pun tak luput dari pembakaran yang dilakukan entah oleh kelompok mana.
“Teganya, mereka bakar sekolah anak-anak kita…,” bisik berapa orang.
“Mereka ingin berkuasa di atas kebodohan penduduk kampung ini….” ujar yang lain dengan bibir gemetar.
“Siapa mereka ayah?” tanyanya waktu itu. “Siapa orang yang mengirimi kita api setiap hari? Siapa yang menginginkan orang-orang di kampung ini mati?”
“Kau tak usah ikut campur, nak. Kita jaga saja keluarga kita,” kata ayahnya dengan suara serak.
“Tapi ayah….”
“Tak ada tetapi, anakku. Kau akan terus sekolah dan menjadi yang terpintar. Kau akan sekolah ke luar negeri dan kembali untuk membangun serta menyingkirkan nestapa dari kampung kita.”
Ia belum pernah melihat kepingan kaca pecah di mata ayahnya, melebihi hari itu. Ia melihat giris gerimis dari jendela rumahnya dan merasakan tangis orang-orang di kampungnya menyirami tubuhnya. Lalu gerimis-gerimis itu menjadi jarum-jarum kecil panjang yang menancapi hatinya. Apa yang bisa dilakukan pemuda berusia tujuh belas tahun seperti dirinya waktu itu?
Sekolah. Belajar dengan benar dan melahap semua buku yang ia temukan di rumah, di sekolah, di perpustakaan, masjid, di tempat teman, di jalan, di mana pun. Ia bertekad membaca semua: cuaca yang terbuka dan segala itu.
Tapi siapa mereka sebenarnya?
Di koran dan majalah ia membaca tentang kerusuhan di kampungnya. Ada kelompok bersenjata yang bercita-cita mengubah kampung itu menjadi negeri madani yang adil, makmur dan sejahtera. Pemerintah menganggap hal tersebut makar dan memutuskan untuk melindungi, mempertahankan kampung tersebut dengan kesiagaan para tentara dan polisi. Lalu tiba-tiba muncul kelompok ketiga yang entah siapa, juga bersenjata. Sementara penduduk kampung hidup dalam belenggu ketakutan.
Tapi aku tak bisa membedakan mereka, kata pemuda itu pada dirinya sendiri.
Ia dan penduduk kampungnya memang tak tahu lagi, siapa yang bermain-main dengan darah dan nyawa para penduduk kampung sebenarnya. Sebab semua kelompok bersenjata itu selalu saling menuduh satu sama lain. Setiap kelompok menyatakan bahwa keberadaan mereka di kampung itu hanyalah untuk melindungi para penduduk kampung. Tetapi mayat-mayat semakin sering ditemukan. Ledakan dan suara tembakan kerap terdengar dan bau mesiu menjadi aroma sehari-hari yang dicium penduduk kampung saat mereka menghirup oksigen.
Setiap hari Jum’at para penduduk bergotong royong untuk membersihkan semua tembok dan jalan di kampung itu dari bekas dan jejak-jejak darah mengering yang entah milik mayat yang mana. Namun cipratan dan bekas darah manusia itu tak dapat dibersihkan dengan air ledeng, air hujan atau air apa pun, apalagi dengan airmata.
Sampai pada suatu saat, antara gembira dan cemas, ia mendapat kabar bahwa permohonan beasiswanya diterima. Ia akan pergi ke Negeri Seribu Menara.
“Kau sudah lulus. Kau akan pergi ke luar negeri. Kau akan kembali sesudah menjadi doktor,” Ayahnya diluapi kebanggaan.
“Ya, ayah. Tapi aku akan pulang setiap hari raya,” kata pemuda itu.
“Kau tidak akan kembali sebelum menjadi doktor, baik pada hari raya atau hari apa pun…”
“Ayah….”
Ia tak mengerti mengapa ayahnya berkata seperti itu ketika melepasnya di bandara. Tapi ia tak terlalu memikirkannya. Ia akan kuliah sambil bekerja di luar negeri. Ia akan berhemat dan mengumpulkan uang agar bisa pulang paling tidak dua tahun sekali.
Namun bayangan ayahnya muncul bersama surat orangtua itu. Surat-surat yang selalu disertai kalimat serupa: Jangan pernah kembali ke sini, kecuali kau ingin mati.
Mengapa?
Meski tak memahami, ia mencoba menurut saat ayah melarangnya pulang.
Sebenarnya pernah dua-tiga kali ia putuskan untuk pulang, apa pun yang terjadi. Terutama saat malam-malamnya disesaki oleh wajah ibu dan adiknya. Ah, adik kecilku, usia kami bertaut 10 tahun. Sudah sebesar apa ia sekarang?
Lelaki itu pun memesan tiket pesawat dan merencanakan semua. Namun tiba-tiba surat ayahnya datang lagi dengan nada yang lebih menghibakan:
Ibu dan adikmu sehat. Kami baru saja pindah dari rumah kita yang lama. Keadaan semakin mencekam.
Anakku sayang, tolong, jangan berpikir dulu untuk pulang. Di sini semua jalan diblokir dan perbatasan dijaga dengan sangat ketat entah oleh siapa. Setiap saat orang yang tak bersalah pun bisa tertembak. Dan kalau ada apa-apa denganmu, kau tahu, kami tak siap. Aku atau ibumu bisa meninggal mendadak.
Tetapi kini, telah lebih dari sepuluh tahun, jerit batinnya. Ia sudah menjadi doktor seperti yang didambakan ayah, keluarga dan penduduk kampungnya. Mengapa ia belum boleh kembali? Bukankah dulu mereka yang memintanya cepat kembali untuk bersama membangun kampung halaman?
Ketika kau pergi, semua baru permulaan, nak. Kini setiap hari selalu ada mayat yang ditemukan di bukit, sungai, jurang dan jalan raya. Selalu ada rumah dan sekolah yang terbakar. Setiap saat terdengar suara tembakan atau ledakan, tulis ayahnya. Kami harus pandai menyelamatkan diri agar tetap bernapas keesokan harinya.
Ya, bertahun-tahun ia meresapi kegemparan tersebut lewat layar komputernya saat membuka internet, mencari tahu tentang kondisi kampung halamannya tercinta. Karena itulah, kian hari resahnya kian menggunung. Bukankah ia harus ada di sana untuk melindungi ayah, ibu dan adiknya?
Ia mencoba untuk memejamkan mata dan berbaring di samping wajah istrinya yang bening. Istri. Aku bahkan sudah memiliki dua orang anak. Betapa ia mendambakan keluarga kecilnya bertemu dengan kedua orangtua dan saudaranya. Ibu dan adiknya tentu akan gemas melihat langsung kedua gadis kecilnya yang berambut merah kecoklatan, juga istrinya, perempuan cantik asal Negeri Seribu Menara yang mengenakan kerudung sejak remaja, seperti hampir semua wanita di kampung halamannya.
Ia mencium kening istrinya, lama sekali. Perlahan ia bangkit dan masuk ke kamar sebelah, merapikan selimut dan mencium pipi kedua anaknya yang telah nyenyak. Ia singgah sesaat ke ruang kerjanya, merapikan berkas-berkas yang esok akan dibawa dalam meeting di perusahaan kecilnya. Ia raih beberapa buku referensi yang akan dipakainya mengajar di universitas dan memasukkannya dalam tas.
Ia akan pulang. Ia harus pulang. Kali ini tak ada berita atau surat yang akan mencegah rindu yang ditanamnya bertahun-tahun.
Sementara, jauh sekali dari tempat lelaki itu berdiri….
Di pojok sebuah rumah, seorang gadis berkerudung, berusia sekitar 20 tahun, mengambil secarik kertas dengan tangan gemetar. Sebelum meraih pulpen, ia bersihkan sedikit tanah merah kuburan, yang menempel di sela jarinya.
Aku merindukanmu, tapi jangan pulang. Sejak lima tahun lalu, orang-orang yang entah siapa telah membunuhi orang-orang cerdas dan para pemikir di kampung kita. Di sini sudah banyak sarjana dan cendekiawan yang mati. Jadi, kumohon, jangan kembali….
Wajah gadis itu mengeras. Seperti televisi, mata merahnya mengulang lagi peristiwa senja itu dalam adegan-adegan lambat. Suara motor di halaman, langkah ayah yang bergegas membuka pintu, suara tembakan beberapa kali…lalu teriakan ibunya. Ia seakan berhenti bernapas saat menemukan ayahnya, dosen di sebuah universitas itu, terkapar di beranda dengan tubuh bolong. Ibunya yang guru sebuah SMU, juga meninggal akibat luka tembak. Semua terjadi begitu cepat.
Tetes airmata gadis itu jatuh di atas kertas surat yang tak wangi. Tolong jangan pulang, bang. Nanti Abang bisa mati.
***
Kairo-Cipayung, April 2002
Dari buku: Luka Telah Menyapa Cinta, FBA Press, 2002